Skip to main content

Posts

Getting Better

Meminta cuti 15 hari sekaligus sebenarnya bukan perkara mudah. Saya sampai memohon untuk potong gaji atau minta unpaid leave selama sebulan demi bulan April. Untunglah atasan saya mengijinkan dan jatah cuti saya tahun 2017 pun ludes, dengan kelebihan cuti yang akan dilimpahkan untuk tahun berikutnya. Dengan konsultasi psikolog jadi memahami masalah saya dengan lebih jelas. Lalu dengan menggunakan tiket pesawat saya jadi punya motivasi hidup yang lebih jelas meskipun short term. Beberapa kali sebenarnya saya masih suka kumat dan ada kejadian-kejadian tidak menyenangkan bertubi-tubi. Tapi syukurlah saya berhasil melewati 2016 dengan selamat. Saya pun selesai dengan pekerjaan bagian saya di 2016 dan mendapatkan tugas proyek baru. Emosi saya setelahnya langsung jauh membaik. Ternyata benar saya memang kena burnout dari proyek sebelumnya. Meski masih sering merasa cemas, pikiran saya sudah lebih plong dan saya tidak lagi memaksakan diri untuk lembur-lemburan. Sekitar bulan Februari
Recent posts

Preparing for JLPT N4

JLPT alias Japanase Languange Proficiency Test adalah ujian kemampuan berbahasa Jepang yang biasanya diadakan setahun 2x, awal Juni dan Awal Desember. Biayanya biasanya ada perubahan tiap tahun tapi berkisar Rp150-250ribu dan sertifikatnya juga tidak ada batas kadaluwarsa. Pendaftaran dibuka sekitar pertengahan Februari dan Agustus, tapi untuk info lebih pasti, selalu cek di  https://jlptonline.or.id/  . Tahun 2020 ini sepertinya ada perubahan akibat wabah Covid-19. Saya mengambil ujian N4 pada tahun 2016. Awalnya saya pikir mau ambil dari N5 dulu, tapi ada teman yang menyarankan untuk langsung ambil N4 karena N5 terlalu mudah. Dan karena tesnya setahun hanya 2x, saya pikir tidak ada salahnya langsung ambil N4 kalau memang tidak begitu jauh bedanya. Tapi perjuangan belajarnya tetap lumayan. Karena bekerja, waktu untuk les sudah tidak mungkin ada, belum lagi biayanya cukup besar serta pertimbangan transport. Akhirnya saya putuskan untuk belajar sendiri menggunakan buku terbitan G

Burnout

Error? Bug? Glitch? Ada yang aneh dengan kontrol emosi maupun logika di otak saya. Awalnya hanya pundung-pundung. Lalu hal-hal yang biasanya bisa bikin happy malah jadi hampa. Baca komik misalnya, membuat saya senang pas ketika saya sedang membaca, tapi setelahnya langsung terasa kosong lagi. Kualitas kerja ambrol. Susah sekali untuk bisa konsentrasi dan fokus. Meski sudah lembur-lemburan entah kenapa tidak ada yang selesai dengan baik dan tepat waktu. Lama-kelamaan kendali otak makin hilang. Saya bisa cemas dan ketakutan sendiri tanpa alasan atau trigger yang jelas. Atau bisa tahu-tahu nangis dan marah besar cuma karena bercandaan sepele. Hal-hal jelek terus menerus muter di kepala. Datengnya ngga diundang tapi ngga kelar-kelar dan bikin puyeng. Kayak ada sesuatu yang malah bikin saya ketakutan sendiri kalau semua baik-baik saja. Kalau ada sesuatu yang bikin saya cemas, tentu saya cemas. Kalau tidak ada yang bikin saya cemas, saya jadi cemas sendiri karena ngga ada yang bikin ce

Combo of Sickness

Memasuki tahun 2015 saya seperti mendapatkan wangsit aneh. Seperti ada dorongan yang bukan dari diri saya sendiri supaya berjuang untuk bisa tinggal di Jepang. Tapi saya baru saja jalan-jalan ke sana di tahun sebelumnya jadi mungkin itu cuma "kangen" yang mendadak muncul saja. Tapi kalau merefleksikan kembali momen tersebut, bisa juga itu naluri saya untuk "melarikan diri" dari hal-hal tidak enak yang bermunculan beberapa tahun ke depan. Di tahun ini saya masuk kepala 3. Tuntutan pekerjaan di kantor semakin besar dan saya diberi kepercayaan untuk menjadi lead. Freelance tetap saya ambil. Selama masih bisa dan selama proyek nya saya suka, rasanya pamali kalau menolak pekerjaan. Seiring bertambahnya  tanggung jawab dan jam lembur, tanpa saya sadari saat itu ada stress yang menumpuk. Perlahan tapi pasti kondisi badan saya menurun. Awalnya batuk yang tidak berhenti-berhenti. Kemudian diikuti sakit kepala dan meriang yang tidak berkesudahan. Badan selalu merasa k

Enjoying Office Life

Tadinya saya pikir saya lebih cocok freelance dan bekerja sendiri, tapi ternyata berkantor dan belajar bekerja sama dengan orang lain juga menyenangkan dan jadi pengalaman yang tak kalah penting. Saya sangat menyukai pekerjaan saya. Teman-teman di kantor menyenangkan, dan perusahaan menerapkan sistem meritokrasi yang berdasarkan kemampuan pegawai. Gaji mungkin tidak sebesar kantor-kantor besar yang lebih established. Tapi cukup untuk menghidupi kebutuhan sehari-hari. Ditambah dengan proyek sampingan di luar kantor, saya masih bisa punya budget menabung rutin dan sesekali bersenang-senang. Melewati masa muda ketika krismon 98 dan melihat ayah saya berapa kali gagal bayar pinjaman bank membuat saya selalu menabung supaya ada dana darurat. Dan meski sudah jadi karyawan tetap beberapa tahun, saya juga masih sering takut kalau suatu waktu kondisi tidak bagus dan harus berhenti ngantor tanpa ada bemper. Pelan-pelan kantor semakin berkembang dan tantangan semakin bermunculan dengan pr

Living on My Own

Pada tahun-tahun terakhir kuliah, kondisi kesehatan ayah saya tiba-tiba memburuk. Beliau sempat berminggu-minggu di rumah sakit akibat serangan jantung dan radang organ dalam. Bisnis pun sedang lebih banyak rugi daripada untung, ditambah biaya rumah sakit, hutang keluarga jadi menumpuk. Setelah lulus kuliah saya bekerja secara freelance supaya bisa menjaga ayah sampai kondisi kesehatannya berangsur membaik. Ada teman kuliah yang ngajakin sekolah bahasa di Jepang supaya bisa cari kerja di sana. Sebenarnya bukan investasi yang jelek, dan teman-teman saya pada akhirnya cukup sukses bisa bekerja di sana. Tapi mana mungkin kepikiran ingin nerusin sekolah dalam kondisi carut marut. ^^; Yang penting ayah saya sehat dan kami survive dulu saja lah. Rumah kami akhirnya dijual untuk menutup hutang, kemudian kami pindah menumpang kontrak di rumah saudara yang berbaik hati menampung. Sekamar kami tidur berempat untuk menghemat listrik. Memiliki atau mengkoleksi barang menjadi kemewahan

About Me?

Bila dikisahkan, saya rasa 30 tahun terakhir kehidupan saya mungkin sesuatu yang umum ditemukan. Genrenya boleh dikatakan slice of life yang sesekali dramatis. Belum tahu endingnya akan seperti apa, bisa saja jadinya kentang. Tapi sekentang-kentangnya semoga masih bisa jadi french fries atau baked potato yang memberi kebahagiaan. (eh gimana?) Saya lahir sebagai anak perempuan pertama dari 2 bersaudara di keluarga berlatar belakang minoritas dan kelompok ekonomi menengah tanggung. Ngga pantes dibilang miskin tapi dibilang kaya juga susah. Pernah sih ada momen yang bolehlah disebut lumayan kaya, tapi sejak krismon 98, grafis keuangan keluarga terus menurun. Meski mepet-mepet, saya cukup beruntung segala kebutuhan saya dari kecil hingga dewasa terpenuhi dengan baik. Orang tua saya juga termasuk yang memberi kebebasan untuk saya mengeksplor hobi sedari kecil. Meski keduanya tidak lulus SD, mereka menganggap pendidikan adalah penting untuk anak-anaknya dan bekerja keras menyekolahkan